Tragedi Terowongan Mina
Mina
adalah sebuah lembah di padang pasir yang terletak sekitar 5
kilometer sebelah Timur kota Mekkah, Arab Saudi. Ia terletak di antara Mekkah
dan Muzdalifah. Mina mendapat julukan kota
tenda, karena berisi tenda-tenda untuk jutaan jamaah haji seluruh dunia. Tenda-tenda itu tetap
berdiri meski musim haji tidak berlangsung. Mina paling dikenal sebagai tempat
dilaksanakannya kegiatan lempar jumrah
dalam ibadah haji
Mina didatangi
oleh jamaah haji pada tanggal 8 Dzulhijah atau sehari sebelum wukuf di Arafah.
Jamaah haji tinggal di sini sehari semalam sehingga dapat melakukan shalat Dzuhur, Ashar, Maghrib, Isya dan Subuh. Kemudian
setelah sholat Subuh tanggal 9 Dzulhijah, jamaah haji berangkat ke Arafah.
Jamaah haji
datang lagi ke Mina setelah selesai melaksanakan wukuf
di Arafah. Jamaah haji ke Mina lagi karena para jamaah haji akan melempar
jumrah. Tempat atau lokasi melempar jumrah ada 3 yaitu Jumrah Aqabah, Jumrah
Wusta dan Jumrah Ula. Di Mina jamaah haji wajib melaksanakan mabit (bermalam)
yaitu malam tanggal 11,12 Dzulhijah bagi jamaah haji yang melaksanakan Nafar
Awal atau malam tanggal 11,12,13 dzulhijah bagi jamaah yang melaksanakan Nafar
Tsani.
Mina juga
merupakan tempat atau lokasi penyembelihan binatang kurban. Di Mina ada mesjid Khaif, merupakan
masjid dimana Nabi Muhammad SAW
melakukan shalat dan khutbah ketika berada di Mina saat melaksanakan ibadah
haji.
Pada tahun 1990 diwarnai
kabar duka dari Mekah. Yaitu tewasnya 1.426 orang jemaah haji akibat saling
injak di terowongan Haratul Lisan, Mina. Dari seluruh korban tersebut sebanyak
649 jemaah asal Indonesia menjadi korban insiden maut tersebut. Itu terjadi
karena jemaah, baik yang akan pergi melempar jumrah maupun yang pulang,
berebutan dari dua arah untuk memasuki satu-satunya terowongan yang
menghubungkan tempat jumrah dan Haratul Lisan.
Musibah itu terjadi karena masing-masing
ingin mendapatkan yang afdhal atau utama dalam ibadahnya. Sehingga terjadi
konsentrasi manusia dalam waktu yang bersamaan. Diawali dengan puluhan hingga
ratusan ribu jemaah haji dari berbagai penjuru dunia berjalan lewat terowongan
Haratul Lisan. Kekacauan itu segera berubah menjadi tragedi. Mereka berdesakan,
berimpitan, dan lalu berguguran.
Lebih dari seribu orang gugur sebagai
syuhada. Kebanyakan di antara mereka adalah saudara-saudara kita, yang datang
jauh dari belahan dunia lain, Indonesia. Mereka telah berjalan jauh, membayar
ongkos perjalanan hampir dua kali lipat dari perjalanan biasa. Mereka telah
membayar pajak untuk mendapatkan visa haji dan ongkos-ongkos lain untuk
kepuasan ibadah mereka di Tanah Suci.
Peristiwa terjadi karena jemaah haji baik
yang akan pergi melempar jumrah maupun yang pulang, berebutan dari dua arah
untuk memasuki satu-satunya terowongan yang menghubungkan tempat jumrah dan
Haratul Lisan. Puluhan orang telah berjatuhan, tapi dorongan massa seolah tak
peduli. Desakan terasa semakin kuat karena massa di belakang tidak tahu apa
yang terjadi dan terus merangsek.
Petugas keamanan Arab Saudi tidak memadai
tak berdaya. Ribuan anggota jemaah bahkan mulai naik lewat lewat pintu barat,
yang seharusnya menjadi pintu keluar. Tak ayal, massa yang terus terdorong akhirnya
menginjak-injak tubuh mereka yang telah tersungkur. Sebagian tersandung, lalu
terjatuh pula.
Kepanikan semakin menjadi-jadi. Mereka yang
di tengah tergencet, sementara yang di pinggir terjepit di pagar dan bahkan
terlempar ke lantai bawah ketika pagar jebol. Setelah melayang enam meter ke
bawah, mereka menimpa jemaah di lantai satu. Gema basmalah dan takbir
"Bismillahi Allahu Akbar" kini bercampur dengan rintihan, teriakan,
dan lolongan kesakitan jemaah yang terdesak, tersikut, jatuh, terimpit, tertimpa,
dan terinjak jemaah lainnya.
Jemaah haji asal Indonesia yang kebanyakan
sudah berusia lanjut dengan kondisi fisik yang memang relatif lebih lemah,
akibat terpaan cuaca di Mekah yang kurang bersahabat banyak menjadi korban
dalam tragedi tersebut. Keesokan harinya ambulans dan mobil-mobil polisi
terlihat sibuk menyingkirkan orang-orang dari lokasi musibah untuk memudahkan
upaya penyelamatan. Mayat-mayat bercampur dengan yang masih hidup diangkut ke
dalam truk bertumpuk-tumpuk seperti tak terpakai.
Kini, di tengah semua perdebatan tentang
siapa yang harus bertanggung jawab, serta iringan derai air mata saudara, anak,
istri, teman, dan kerabat di Tanah Air, jenazah para syuhada Mina telah
dikebumikan di Ma'la. Di pekuburan khusus jemaah haji di kawasan Jakfariyah,
Mekah, Nazaruddin bersama para syuhada Mina lainnya beristirahat dengan tenang.
Cita-cita mereka untuk memenuhi panggilan Allah telah terkabul.
Berikut adalah beberapa peristiwa yang
perna terjadi di mina :
- 2 Juli 1990:
1.426 jamaah tewas kebanyakan dari Asia akibat terperangkap didalam terowongan
Mina.
- 24 Mei 1994: 270
jamaah tewas akibat saling dorong dan injak di Mina
- 7 Mei 1995: tiga
jamaah tewas akibat kebakaran di Mina.
- 15 April 1997:
343 jamaah tewas dan 1.500 lainnya terluka karena kehabisan nafas karena
terjebak didalam kebakaran tenda di Mina
- 9 April 1998:
118 jamaah tewas karena berdesak–desakkan saat pelaksanaan lontar jumroh.
-
11 Februari 2003: 14 jamaah tewas di Jumrotul Mina – enam diantaranya
wanita.
- 1 Februari 2004: Sebanyak 251 jamaah tewas selama pelaksanaan lontar jumrah.
- 12 Jan 2006: Sedikitnya 345 jamaah tewas di Jammarat selama pelaksanaan lontar jumrah. Insiden ini terjadi pada pukul 15.30 waktu setempat usai shalat dzuhur, setelah jutaan jamaah saling berdesak–desakkan di pintu masuk sebelah utara lantai dua Jammarat.
- 1 Februari 2004: Sebanyak 251 jamaah tewas selama pelaksanaan lontar jumrah.
- 12 Jan 2006: Sedikitnya 345 jamaah tewas di Jammarat selama pelaksanaan lontar jumrah. Insiden ini terjadi pada pukul 15.30 waktu setempat usai shalat dzuhur, setelah jutaan jamaah saling berdesak–desakkan di pintu masuk sebelah utara lantai dua Jammarat.
Beberapa kisah lain “Tragedi Terowongan Mina” tahun 1990
:
Tragedi Mina II
Di Tanah Suci, kita tak punya nama
dan tak punya negara. Karena Tuhan tak akan menanyakan warna atau bentuk. Ia
akan merangkul para pengunjungnya.
Namun, Ahad silam, di Tanah Suci,
para pengunjung rumah suci, karena udara, karena bersesakan, karena kegairahan
bertemu Tuhan, karena organisasi duniawi yang ruwet dan karena apa pun, bisa
saja tersungkur dan mati di luar dugaan.
Nun di Jembatan Aqabah, Mina, Arab
Saudi, di antara impitan puluhan ribu manusia yang semakin deras membanjiri,
Hamdani mengulurkan tangannya. Dia ingin meraih tangan Nazaruddin yang
menggapai-gapai. Lelaki itu terjebak dalam arus massa yang terus merangsek
bagai air bah menuju tepi Jamarat Aqabah. Namun, tiba-tiba sebutir batu
tersasar dan menerpa kepala Hamdani. Darah pun mengucur deras.
Karena terkejut dan kesakitan,
anggota jemaah haji asal Bekasi, Jawa Barat, itu mengaduh. Sambil memegangi
kepalanya yang bocor, ia berusaha menghentikan langkah sejenak. Tapi dorongan,
desakan, dan impitan massa begitu luar biasa. Cuaca terik 37 derajat Celsius
tanpa awan di langit Aqabah pun semakin menguras stamina. Dengan mudah, lelaki
35 tahun itu terbawa arus massa seperti kertas yang terhanyut air, sebelum
akhirnya terpental ke sisi kiri Jamarat Aqabah. "Untunglah, saya segera
ditarik seorang jemaah haji asal Turki keluar dari pusaran massa," ujarnya
Tapi saat itulah Hamdani menyaksikan
betapa Nazaruddin, sahabat barunya, berupaya meloloskan diri dari banjir
puluhan ribu orang dari seluruh penjuru dunia yang tenggelam dalam ekstase
ritual haji. Dia melihat Nazaruddin tersengal di antara jepitan tubuh-tubuh
jemaah lainnya. Sejenak ia masih menjejak tanah, tapi tak lama kemudian kakinya
tak lagi mampu menahan desakan dan berat tubuhnya sendiri. Selama beberapa
saat, lelaki 40-an tahun itu terombang-ambing arus massa, sebelum akhirnya
terjerembab dan tersungkur di tengah kerumunan massa.
Puluhan orang telah berjatuhan, tapi
dorongan massa seolah tak peduli. Desakan terasa semakin kuat karena massa di
belakang tidak tahu apa yang terjadi dan terus merangsek. Petugas keamanan Arab
Saudi tidak memadai. Ribuan anggota jemaah bahkan mulai naik lewat lewat pintu
barat, yang seharusnya menjadi pintu keluar. Tak ayal, massa yang terus
terdorong akhirnya menginjak-injak tubuh mereka yang telah tersungkur. Sebagian
tersandung, lalu terjatuh pula.
Kepanikan semakin menjadi-jadi.
Mereka yang di tengah tergencet, sementara yang di pinggir terjepit di pagar
dan bahkan terlempar ke lantai bawah ketika pagar jebol. Setelah melayang enam
meter ke bawah, mereka menimpa jemaah di lantai satu. Gema basmalah dan takbir
"Bismillahi Allahu Akbar" saat mereka melontar batu jumrah kini
bercampur dengan rintihan, teriakan, dan lolongan kesakitan jemaah yang
terdesak, tersikut, jatuh, terimpit, tertimpa, dan terinjak jemaah lainnya.
Ridwan, anggota jemaah haji
Indonesia dari Kloter 37 SOC, mengaku melihat puluhan orang jatuh dari
jembatan. Semula, ia dan puluhan orang yang berada tak jauh dari lokasi mencoba
menolong. "Tapi, karena membeludaknya jemaah, kami tak bisa
mendekat," ujarnya. Sementara itu, tubuh orang-orang yang terlempar dari
atas terus menjatuhi orang-orang yang berdesak-desakan di bawahnya. Keadaan di
lantai satu menjadi kacau. Tubuh-tubuh manusia yang jatuh dan mereka yang
tertimpa akhirnya terinjak-injak jemaah lainnya yang juga terus merangsek
mendekati lokasi pelemparan jumrah.
Hari itu, di saat yang seharusnya
kita semua tak membutuhkan nama atau bentuk, akhirnya mengenali 251 anggota
jemaah haji yang meninggal terinjak-injak gara-gara berebut melempar jumrah.
Dari jumlah itu, korban terbanyak, 55 orang, berasal dari Indonesia.
"Sebanyak 39 meninggal saat kejadian, 13 orang di hari kedua, dan 3 orang
di hari berikutnya," kata Muhammad Nadhirin, Wakil Ketua Panitia Penyelenggara
Ibadah Haji Indonesia. Jumlah korban tewas dalam peristiwa ini menempati posisi
terburuk kedua setelah tragedi terowongan Al Mu'ashim, Haratul-Lisan, Mina,
tahun 1990. Dalam tragedi itu, 1.426 anggota jemaah haji tewas dan ribuan
lainnya terluka.
Menurut Menteri Urusan Haji Arab
Saudi, Iyad bin Amin Al-Madani, musibah terjadi ketika sekitar dua juta anggota
jemaah memadati Mina. Pada Ahad pagi, arus jemaah di jembatan Jamarat lancar
dan terkendali. Tapi, sekitar pukul 8.30 waktu setempat (12.30 WIB), antrean mulai
terhambat, terhalang jemaah-yang disebut Al Madani sebagai "jemaah
liar"-yang melakukan ritual sambil membawa barang-barang pribadi.
"Antrean jemaah sepanjang lebih dari 400 meter kemudian mendesak ke arah
yang sama dan menyebabkan kepanikan," kata Madani.
Kerumunan mulai memadat saat waktu
menunjukkan pukul 09.00 pagi waktu setempat. Sebab, saat dluha itulah
yang dianggap sebagai waktu paling afdol untuk melempar jumrah. Mereka pun
tampaknya bergegas karena ingin segera dapat bertahalul dan tidak memakai
pakaian ihram lagi. Namun, ketika bagian bawah Jamarat penuh massa, orang-orang
pun berbondong-bondong naik ke lantai atas. Padahal, di lantai atas, lokasi
pelemparan Jamarat Aqabah sangat terbatas.
Kepadatan massa semakin memuncak
hingga terjadinya musibah sekitar pukul 11.00. Massa yang masih terus merangsek
akhirnya baru bisa dihentikan setelah ratusan aparat keamanan Saudi datang dan
segera memblokir jalanan menuju tempat kejadian. Korban-korban yang
bergelimpangan pun segera dievakuasi.
Menurut Sekretaris Direktur Jenderal
Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji Departemen Agama, Fauzi
Amnur, faktor penyebab musibah adalah karena para anggota jemaah terlalu
mengejar waktu yang dianggap baik. Para korban musibah dari Indonesia rupanya tak
memperhatikan peringatan dalam buku manasik Departemen Agama. Di situ tercantum
bahwa waktu afdol justru berbahaya. "Faktor lain adalah fasilitas di Mina
yang tak memadai lagi untuk menampung jutaan manusia," ujarnya.
Meski peristiwa itu menurut Al-Madani
hanya berlangsung 27 menit, aparat keamanan terlihat sangat lambat dan tidak
efektif bertindak. Petugas muasasah negara-negara Arab yang dipimpin
D.R. Thala'at Abdul Karim sangat menyesalkan keterlambatan ini. Sebab, masalah
kepadatan jemaah haji saat melontar jumrah terus berlangsung tiap tahun.
"Seharusnya pemerintah Saudi bisa menjamin keamanan, kelancaran, dan
ketertiban demi terciptanya kenyamanan beribadah," ujar warga Tunisia itu.
Untuk musim haji tahun ini memang
terlihat jelas betapa macet, ruwet, dan tidak teraturnya sebagian jemaah.
Wartawan TEMPO menyaksikan kelemahan penjagaan aparat. Meskipun waktu sudah
mendekati akhir waktu nafar awal, Selasa sore lalu, petugas keamanan Saudi yang
menjaga di atas jembatan Jamarat tak lebih hanya 20 orang. Padahal dua hari
sebelumnya baru saja terjadi musibah yang menewaskan 251 orang itu. Bagaimana
mungkin mereka bisa mengatasi jemaah haji yang berjumlah jutaan orang?
Al-Madani mengakui bahwa aparat
keamanan kurang siap, terutama di daerah lokasi pelemparan jumrah, lebih-lebih
di atas jembatan. Tapi, menurut dia, aparat keamanan tetap sigap. "Satu
jam setelah kejadian, kami segera mengumumkan ke seluruh muasasah untuk
melarang jemaahnya melempar jumrah dulu," ujarnya. Para korban memang
segera dilarikan ke Rumah Sakit Al Muashim. Tapi, apa mau dikata, sebagian
besar mereka telah wafat.
Kini, di tengah semua perdebatan
serta iringan derai air mata saudara, anak, istri, teman, dan kerabat di Tanah
Air, jenazah para syuhada Mina telah dikebumikan di Ma'la. Di pekuburan khusus
jemaah haji di kawasan Jakfariyah, Mekah, Nazaruddin bersama para syuhada Mina
lainnya beristirahat dengan tenang. Cita-cita mereka untuk memenuhi panggilan
Allah telah terkabul.
Labbaika Allahumma labbaik! Aku memenuhi panggilanmu, ya Allah...!
Diselamatkan Dari Tragedi Terowongan Mina
Ketua bidang Percepatan Pembangunan
Desa salah satu partai politik di Indonesia ini sudah berulang kali menunaikan
ibadah haji ke Tanah Suci. “Soalnya, berhaji memberikan ketenangan tersendiri
buat saya. Belum lagi janji Allah bahwa haji mampu menghapus kesalahan kita,”
ujar H Bahauddin Thonti menerangkan alasan kenapa ia berulang kali menunaikan
haji.
Yang jelas, selama beberapa kali
menunaikan ibadah haji, ayahanda artis Ulfa Dwiyanti ini mengalami beberapa
kejadian yang luar biasa. Di antaranya terjadi pada musim haji tahu 1995,
tepatnya setahun setelah ambruknya terowongan Mina yang menewaskan ratusan
jamaah haji.
Ceritanya ketika itu Thonti bersama
istri baru saja melontar jumrah. Selain melempar jumrah untuk dirinya sendiri,
Thonti juga membadalkan (mengganti) melemparkan jumrah untuk walikota
Yogyakarta, R. Widagdo. Tiba-tiba terjadi kebakaran di terowongan Mina. Kontan,
ribuan jamah haji yang berada di situ langsung panik dan berdesakan-desakan
untuk menyelamatkan diri masing-masing.
Akibatnya, ratusan jamah
terinjak-injak. Thonti sendiri mengaku selama seperempat jam kakinya tidak bisa
menginjak tanah. Selain terpisah dari istri, rasa haus dan kelelahan nyaris
membuat pria kelahiran Pinrang, Sumatera Selatan, 62 tahun lalu ini tidak
sadarkan diri. Untungnya, tidak lama kemudian ada seorang wanita yang tidak
dikenalnya, memberikan air putih. “Atas izin Allah, mungkin pemberian air
itulah yang menyelamatkannyawa saya ketika itu,” tuturnya.
Selain kejadian ini, masih ada
kejadian lainyang membuat Thonti merasakan betul kebesaran dan kekuasaan Allah
SWT. Ketika berhaji pada tahun 1993, Thonti sempat melihat kilat yang bentuknya
panjang dan tidak beraturan. Tiga tahun kemudian, di tempat dan jam yang sama,
Thonti kembali melihat kejadian kilat yang serupa.
Usai terjadinya kilat,ia pun
membayangkan melihat kilat itu secara terbalik. Hasilnya, ia melihat tulisan Lailaha
Illa Allah. “Saya langsung teriak Allahu Akbar, dan sujud syukur.
Beberapa orang yang adadi sekitar saya sempat bertanya, ada apa. Setelah saya
jelaskan, mereka pun langsung memuji kebesaran Allah.”
Sumber: Tabloid Haji dan Umroh
Indonesia Edisi September 2007